Jumat, 20 Agustus 2010

Jakarta (ANTARA) - Kepala Riset Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim Suhana meminta Pemerintah mewaspadai insiden pengawas perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di perairan Bintan, Kepulauan Riau, berakhir seperti kasus Sipadan dan Ligitan.
"Perlu kita cermati secara mendalam, insiden perairan Bintan jangan sampai menjadi strategi untuk mengklaim perairan Bintan sebagai wilayah kedaulatannya," kata Suhana di Jakarta, Kamis.
Seperti diketahui hingga saat ini perundingan perbatasan Indonesia dengan Malaysia di perairan Bintan tempat terjadinya insiden masih mengalami kebuntuan, ujar Suhana. Untuk itu Pemerintah perlu tegas terhadap sikap Malaysia atas insiden tersebut.
Menurut dia, Pemerintah Malaysia sebelumnya juga pernah mengklaim wilayah perairan tersebut sebagai wilayah kedaulatannya dengan mengeluarkan peta, namun Pemerintah Indonesia sudah melayangkan penolakan atas peta tersebut.
Namun demikian upaya Malaysia untuk mengklaim perairan tersebut ternyata tidak berhenti sampai disitu, mereka terus melakukan berbagai upaya untuk menunjukkan bahwa perairan tersebut masuk kedalam kedaulatan mereka, lanjutnya.
"Karena itu jangan sampai kelengahan pengawas perikanan Indonesia dimanfaatkan. Kita tahu bahwa jumlah hari operasi Kapal Pengawas Kelautan dan Perikanan tahun 2010 ini mengalami penurunan dari 180 hari menjadi 100 hari, akibatnya pengawasan pencurian ikan di perairan Indonesia menjadi lengah," tegas Suhana.
Sehingga tidak heran kalau aktivitas pencurian ikan di perairan Indonesia saat ini cenderung meningkat, katanya.
Data Kementerian Kelautan dan Perikanan (2010) menunjukan bahwa sampai akhir Juni 2010 tercatat dari 116 kapal ikan ilegal yang tertangkap kapal pengawas perikanan, 112 diantaranya merupakan kapal ikan asing, termasuk kapal Malaysia.
Berkurangnya hari operasi kapal pengawas tersebut, ia berpendapat sebagai dampak dari kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan yang merealokasi anggaran di (KKP) Tahun 2010.
"Kami menduga ada kesengajaan lima kapal nelayan Malaysia melakukan pencurian ikan di wilayah perairan Bintan. Karena bila tidak ada tindakan protes dari aparat Indonesia, mereka dapat mengklaim perairan tersebut merupakan wilayah kedaulatannya," lanjut Suhana.
Ia mengatakan jika melihat kembali dokumen beralihnya Pulau Sipadan dan Ligitan, di mana perundingan Indonesia dan Malaysia saat itu mengalami kebuntuan dan akhirnya disepakati status quo.
Namun dalam kondisi status tersebut Pemerintah Malaysia telah memanfaatkan kelengahan Pemerintah Indonesia atas pengawasan terhadap kedua pulau tersebut dengan cara memberikan izin untuk membuat berbagai sarana wisata.
"Upaya tersebut berhasil dilakukan karena tidak ada protes dari Pemerintah Indonesia," tegasnya.
Dalam Sidang Mahkamah Internasional Tahun 2002, sempat memutuskan bahwa tidak satu pun dari Pemerintah Indonesia dan Malaysia yang berhak atas Pulau Ligitan dan Sipadan berdasarkan traktat.
Namun pertimbangan Mahkamah selanjutnya berpihak pada yang memiliki hak kepemilikan (title) atas pulau-pulau sengketa berdasarkan penguasaan efektif (effectivites) yang diajukan oleh mereka.
Dalam kaitan ini, Suhana menjelaskan Mahkamah menentukan apakah klaim kedaulatan para pihak berdasarkan kegiatan-kegiatan yang membuktikan adanya suatu tindakan nyata, pelaksanaan kewenangan secara terus menerus terhadap kedua pulau, antara lain misalnya (adanya) itikad dan keinginan untuk bertindak sebagai perwujudan kedaulatan.
Berdasarkan effectivites tersebut maka pada tanggal 17 Desember 2002 Mahkamah Internasional mengakui penguasaan efektif yang telah dilakukan oleh Pemerintah Malaysia atas Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan, dan selama penguasaan efektif tersebut tidak ada gugatan atau protes dari pemerintah Indonesia.
"Karena itu kami mendesak Pemerintah untuk tegas dalam perundingan terkait perbatasan, segera meningkatkan pengawasan di perbatasan, dan menekan negara lain yang tidak segera menyelesaikan perundingan perbatasan dengan meninjau kembali kerja sama yang telah dilakukan dua negara," ujar Suhana.

Selasa, 17 Agustus 2010

8 Orang Tersulit dibunuh di Dunia

8. Gabriel GarcĂ­a Moren


telah memotong tangannya dengan parang, ditembak 5 kali tapi masih sempat berteriak "Tuhan tidak mati"

7. Alexander II dari Rusia


setelah beberapa kali mencoba, tewas dengan rencana yang termasuk cadangan 3 pembom

6. Yasser Arafat


melarikan diri dari beberapa serangan bom dan kecelakaan pesawat

5. Zog dari Albania


dibunuh dan sekali selamat setelah penembakan potensinya pembunuh

4. Hussein dari Yordania
12 kali selamat dari upaya pembunuhan dan pernah diselamatkan oleh medali di seragamnya

3. Fidel Castro


638 selamat dari upaya pembunuhan dan penghitungan 

2. Grigory Rasputin


diracun, ditembak empat kali, dan dipukuli sampai akhirnya ia meninggal karena tenggelam

1. Adolf Hitler


menderita lebih dari 50 kali percobaan pembunuhan konspirasi termasuk rencana gila menggunakan model bintang porno 


Saatnya Memperbaharui Rupiah?

VIVAnews - Dr. Ross McLeod (Private collection of Dr. Ross McLeod). Saya senang saat membaca kolom Agus Firmansyah di Jakarta Post edisi 19 Mei 2008, yang menyatakan bahwa mungkin sekarang ini saat yang tepat untuk melakukan redenominasi rupiah. Menurut Agus, rupiah adalah salah satu mata uang yang paling rendah nilainya di seantero dunia. Uang kertas dengan nilai terendah yang beredar saat ini adalah Rp1.000, yang kira-kira sekarang ini hanya setara dengan 10 sen AS. Uang logam, apalagi, sudah nyaris tak lagi digunakan. Satu rupiah saat ini hanya bernilai sekitar seperseratus sen dolar AS.

Gagasan dasar di balik penentuan nilai, atau daya beli, dari suatu unit mata uang adalah itu semestinya dapat berguna atau memudahkan pengguna berkaitan dengan skala transaksi yang biasanya berlangsung secara tunai. Apabila mata uang tidak dikelola dengan baik selama kurun waktu yang cukup panjang, sebagaimana yang terjadi pada rupiah selama ini, daya beli dari mata uang itu akan merosot secara signifikan sedemikian rupa sehingga transaksi tunai dalam skala terkecil pun harus dilakukan dengan beberapa ratus unit mata uang.

Ditinjau dari segi hukum, rupiah saat ini, seperti halnya dolar, sebetulnya masih terdiri dari 100 sen. Tapi saya bahkan tak lagi ingat pernah melihat koin sen digunakan dalam proses jual-beli dalam rupiah. Pelanggan Bank Indonesia (warga masyarakat pada umumnya, yang menggunakan mata uang rupiah yang dikeluarkan BI untuk bertransaksi) di masa lampau telah menentukan pilihannya, dengan mengurangi permintaan mereka akan uang sen ke level nol. Dengan itu, maka mereka juga sebetulnya telah mengurangi permintaan akan koin rupiah yang memiliki denominasi rendah hampir ke level nol.

Sebagai editor sebuah jurnal tentang ekonomi Indonesia, saya kerap dibingungkan oleh kecenderungan banyak penulis yang mencatatkan nilai uang dalam rupiah secara terperinci sampai ke digit yang paling kecil, daripada membulatkannya dalam jutaan, miliaran, atau bahkan triliunan. Tidakkah terbayangkan betapa pembaca jurnal akan kecewa jika nilai uang itu ditulis ‘Rp24,2 triliun’ ketimbang nilai yang ‘benar’ seperti Rp24.165.782.534.956 (yang juga seringkali merupakan taksiran saja)? 

Sebaliknya: akan jauh lebih mudah untuk melihat sekilas, jika nilai uang itu hanya terdiri dari tiga atau empat digit ketimbang belasan digit atau bahkan lebih (dan sudah barang tentu lebih banyak angka dapat dimuat di satu tabel jika mereka dibulatkan lebih dahulu). Untuk alasan yang sama pula, akan sangat tidak nyaman jika harus melakukan transaksi bernilai rendah dalam bilangan nominal yang sangat besar. 

Argumen untuk memperkenalkan ‘rupiah yang baru’ menurut saya cukup meyakinkan. (Rupiah yang ada sekarang juga sebetulnya, di suatu masa lalu bersifat baru, yang diperkenalkan untuk menggantikan rupiah yang lama, yang pernah menjadi hampir tak bernilai gara-gara hiperinflasi pada pertengahan tahun 1960-an.) Ringkasnya, sungguh tidak efisien jika kita harus menghitung dan bertransaksi dalam bilangan jutaan, jika hal itu sebetulnya bisa dengan mudah dilakukan dalam nominal ratusan atau ribuan.

Saya hanya bisa menemukan satu argumen-kontra untuk hal ini: bahwa peluncuran rupiah yang baru akan membingungkan dan mencemaskan warga masyarakat. Sudah barang tentu, jika proses transisi tak dilakukan secara hati-hati, hal itu akan terjadi. Tapi orang tidaklah bodoh. Asal pejabat tinggi pemerintah menerangkan alasan di balikperubahan ini secara teliti dan sabar, saya kira masyarakat akan memahaminya. Mungkin aspek yang paling penting untuk ditekankan ke masyarakat adalah bahwa rupiah yang lama akan dapat ditukarkan untuk rupiah yang baru dengan nilai, katakanlah, 1.000 untuk 1, selama jangka waktu yang cukup panjang. Mungkin juga masuk akal jika uang sen yang baru diluncurkan secara bersamaan.

Akan menarik untuk melihat apakah otoritas moniter serta pemerintah akan menerima saran bermanfaat ini secara serius. Akankah Bank Indonesia sebagai lembaga yang memonopoli penyediaan mata uang mengakui kenyataan, yaitu masyarakat kini hampir tidak lagi memiliki permintaan untuk rupiah dengan nominal rendah, dan secara mubasir harus dibebani untuk berurusan dengan uang kertas rupiah dengan nilai nominal besar bahkan untuk transaksi berskala kecil?

* Profesor ekonomi di Australia National University. Kolom ini diterjemahkan dari blog “Time to Renew the Rupiah?” yang dipublikasikan di laman Australia National University, Indonesia Project.

Kans Brasil dan Argentina Sambangi Indonesia

HALOO
Liputan6.com, Jakarta: Pelaung para pecinta sepakbola di Tanah Air untuk menyaksikan langsung aksi Timnas Brasil dan Argentina terbuka. Dua negara raksasa sepakbola Amerika Latin itu kemungkinan akan menyambangi Jakarta dalam waktu waktu dekat ini. Brasil dan Argentina akan kemungkinan dijajal timnas kita.
Menurut apa yang disampaikan The Jakarta Globe, Ketua Badan Tim Nasional (BTN) Iman Arif menyatakan peluang tersebut terbuka karena kedua tim dijadwalkan memang akan menginjungi Asia. Dan, menurut Iman, BTN tidak mau kehilangan momen bagus tersebut.
Brasil akan melakoni laga eksebisi melawan Thailand, sedangkan Brasil akan bermain di Cina. Jadi menurut saya terbuka sekali memboyong mereka menyambangi kita di Jakarta, kata Iman. Kami siap menanggung semua biaya transportasi dan akomodasi, tapi untuk biaya pertandingan cukup tinggi—dan mesti berhitung.
Biaya pertandingan atau match-fee yang dipatok tiap tim berbeda. Brasil tertinggi dengan harga US$ 1,5 juta atau sekitar Rp 13,5 miliar. Argentina sedikit lebih murah, yakni US$ 1,2 juta (Rp 10,8 miliar). Biaya itu jauh lebih mahal ketimbang mengundang tim lain. Australia, Jepang, Selandia Baru, dan Korea Selatan merupakan lawan alternatif dengan match-fee jauh lebih rendah.
Jika BTN tetap bersikeras, maka diperkirakan Tim Tango bisa mengunjungi Indonesia pada 12 Oktober, dan Tim Samba pada 7 November. Jika penawaran disetujui, dahaga publik sepakbola dalam negeri akan terpenuhi. Apalagi setelah tahun lalu hasrat menyaksikan Manchester United batal akibat ledakan bom teroris di hotel yang rencananya menjadi tempat mereka menginap.(DIM/Goal)

Ponsel Android Baru dari Samsung, Samsung Galaxy S